Jumat, 08 Februari 2008

Emotional Intelligence

Selama ini para orangtua memberikan banyak perhatian pada IQ (Intelligence Quotient). IQ diasosiasikan dengan kepandaian yang diwujudkan dalam kepandaian anak di sekolah, khususnya kepandaian dalam ilmu pasti. Hal lain yang dulu juga diyakini orang adalah adanya IQ yang berlaku umum. Jadi anak-anak yang ber-IQ di atas 120 lebih mudah untuk bisa mengambil jurusan yang ia minati di perguruan tinggi, dari kedokteran sampai sastra. Bahkan seakan-akan sudah diramalkan dia bakalan sukses sebagai apa saja, dari birokrat sampai pengusaha. Memang selama 20 tahun terakhir ini ditemukan bahwa ada peningkatan skor IQ sebanyak 20 poin (Shapiro, 1997). Kenyataan ini memperlihatkan bahwa orang tua dan masyarakat berhasil meningkatkan kemampuan anak secara kognitif. Namun ternyata IQ saja tidak cukup. Kita banyak melihat contoh di masyarakat, orang dengan prestasi di sekolah biasa saja bisa menjadi orang yang sangat sukses, ataupun sebaliknya. Akhir-akhir ini banyak contoh terjadi juga penurunan kualitas dalam masyarakat seperti dengan banyaknya kasus kriminalitas, drop out sekolah, penyalahgunaan narkoba pada anak dan remaja. Keadaan ini menunjukkan bahwa IQ yang tinggi, yang ditunjukkan dengan peningkatan skor IQ, tidak cukup untuk bekal anak-anak dalam menghadapi kehidupannya. Skor IQ yang meninggi ini tidak disertai dengan meningkatnya kemampuan untuk menyelesaikan masalah dengan baik dan tidak meningkatkan kesejahteraan anak-anak tersebut.

Di tahun 1990 (dalam Papalia, 2004), dua orang psikolog, Peter Salovey dan John Maye menciptakan sebuah istilah baru yaitu Emotional Intelligence atau Kecerdasan Emosi (EI). Kecerdasan Emosi menurut kedua psikolog ini adalah kemampuan untuk mengerti dan mengendalikan emosi. Kemampuan ini dianggap sebagai komponen penting dalam tingkah laku yang cerdas. Istilah EI ini kemudian dikembangkan oleh Daniel Goleman. Dari berbagai penelitian yang dilakukannya, ia menemukan bahwa orang-orang yang sampai pada posisi puncak umumnya mempunyai EI yang baik.

Emotional Intelligence memainkan peran yang amat penting bagi seseorang untuk dapat menerapkan pengetahuan yang ia miliki. Dengan EI yang baik, seseorang akan dapat bekerja secara efektif dalam tim, mengenali dan berespon terhadap perasaan diri dan orang lain secara tepat serta dapat memotivasi diri sendiri dan orang lain (Cadman & Brewer, 2001 dalam Papalia, 2004). Lebih jauh lagi, EI amat mempengaruhi hubungan personal dan kemampuan manajemen stress (Cherniss, 2002 dalam Papalia, 2004). Jadi pada dasarnya EI yang baik akan memberi ruang gerak lebih besar bagi IQ untuk tumbuh maksimal. Seperti tercantum pada point ke-dua dari opini Mayer & Salovey tahun 1997; “EI dapat mengatur emosi secara sadar sehingga mampu memajukan pertumbuhan emosi dan intelektual umum.” Anak yang emosinya stabil akan lebih mudah berkonsentrasi dan berpikir logis, mampu memotivasi dirinya untuk fokus pada aktivitas yang konstruktif dan membina hubungan yang harmonis dengan lingkungan sekitar.

Daniel Goleman membagi EI menjadi 5 ( lima ) wilayah utama, yaitu :
Pengenalan Emosi Diri
Yaitu mengenali perasaan pada saat terjadinya. Goleman (dalam Papalia, 2004) mengatakan bahwa yang termasuk dalam pengenalan emosi diri adalah self awereness, accurate self assessment dan self confidence . Kemampuan untuk memantau perasaan dan mengevaluasi perasaan dengan tepat amat penting dalam upaya pemahaman diri dan pengambilan keputusan diri yang stabil. Tanpa kemampuan pengenalan diri seseorang akan mudah dikuasai perasaannya sehingga akan sulit mengambil keputusan yang tepat.

Mengelola Emosi
Adalah kemampuan untuk mengungkapkan perasaan dengan cara yang tepat. Goleman (dalam Papalia, 2004) mengatakan bahwa yang termasuk dalam mengelola emosi adalah self control, trustworthiness, conscientiouness, adaptability, achievement drive, dan initiative . Seseorang yang tidak memiliki kemampuan untuk mengelola emosi akan terus bertarung dengan kecemasan, kemurungan , ketersinggungan, bahkan kemarahan yang meledak-ledak. Sebaliknya, seseorang yang dapat mengelola emosi dengan baik akan dapat melakukan manajemen stress, ceria, optimis, tenang dalam menghadapi setiap masalah, dan cerdas dalam menentukan strategi pemecahan masalah.

Memotivasi Diri Sendiri
Pengelolaan emosi yang baik merupakan alat yang efektif untuk memotivasi diri, menguasai diri dan berkreasi. Dalam hal ini emosi harus dapat diolah untuk menjadi penggerak dan penentu arah bagi tiap usaha kreatif sehingga seseorang menjadi produktif.

Mengenali Emosi Orang Lain
Menurut Goleman (dalam Papalia, 2004) yang termasuk di dalamnya adalah empathy, service orientation, dan organizational awareness. Kemampuan ini amat bermaanfaat, baik dalam membina hubungan personal maupun untuk membina network dan menunjang keberhasilan dalam karir.

Membina Hubungan
Dalam membina hubungan dengan orang lain, keterampilan untuk mengelola emosi orang lain juga amat diperlukan. Seseorang yang memiliki keterampilan membina hubungan yang baik akan sukses baik dalam pekerjaan maupun dalam pergaulan.

Mempunyai EI yang baik akan amat terasa sewaktu kita sudah memasuki usia dewasa muda, yaitu usia 20-40 tahun. Hal ini disebabkan karena pada saat itulah kita mulai membina hubungan yang lebih mendalam dengan seseorang, mulai membentuk keluarga dan membina karir. Pada usia remaja, EI mulai dianggap penting karena akan mempengaruhi hubungan remaja dengan teman-temannya. Masa remaja pertengahan merupakan masa puncak pembentukan EI (Goleman dalam Papalia, 2004).

Pengembangan EI sebaiknya dilakukan sejak dini. Ini disebabkan karena lebih mudah untuk menanamkan dan membiasakan sesuatu pada anak-anak dibandingkan dengan pada orang dewasa. Dalam kehidupan seorang anak, terutama dibawah usia 6 tahun, keluarga merupakan tokoh identifikasi yang amat penting. Pada usia ini anak belum banyak melakukan interaksi di luar rumah. Teman juga belum menempatkan diri pada posisi yang penting, tidak seperti pada usia 6 tahun ke atas (Papalia, 2004). Kehidupan anak pada usia ini berputar pada lingkungan keluarganya. Sebagian besar waktu anak dihabiskan dirumah, diantara orangtua, pengasuh atau keluarga lain yang tinggal di rumah. Bila mereka mulai bersekolah, kehidupannya bertambah, yaitu guru.

Oleh karena itulah orang tua, pengasuh dan guru memegang peranan amat penting dalam kehidupan dan perkembangan anak. Anak yang banyak belajar melalui imitasi atau meniru lingkungannya, tentu akan banyak belajar dari orang tua, pengasuh atau guru untuk membentuk tingkah lakunya dan mengembangkan emosinya. Juga perlu diingat bahwa EI amat erat hubungannya dengan budaya dan aturan masyarakat yang berlaku di sebuah daerah. Oleh karena itu kenali dengan baik budaya dan aturan masyarakat di mana kita berada supaya apa yang kita berikan pada anak tidak bertentangan dengan apa yang ia akan temui di dunia nyata.

Membesarkan anak memang suatu tantangan sendiri bagi para orang tua. Dengan ketekunan dan perhatian yang tinggi dalam membesarkan anak, mereka dapat tumbuh menjadi anak yang lebih bahagia dan percaya diri. Penuhilah nutrisinya, terjunlah langsung, curahkan waktu dan perhatian serta nikmatilah tantangan dalam membesarkan anak. DANCOW® Parenting Series akan setia mendampingi anda, para orang tua.

Sumber sahabatnestle.co.id

Tidak ada komentar: